Kritik Sastra pada Masa Permulaan Islam
Bismillahirrohmanirrohim
1. Sudut
Pandang Nabi shallahu ‘alaihi wasallam terhadap Kritik SastraAspek apa sajakah yang dikritik oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam shallahu ‘alaihi wasallam?
a. Substansi
(المضمون)
Pada masa permulaan Islam, bisa dikatakan bagus tidaknya suatu sastra-dalam hal ini kita fokuskan tentang syair-itu sangat bergantung pada substansi atau isi yang terkandung dalam syair tersebut. Jika syair bernafaskan Islam maka syair tersebut akan dianggap bagus. Hal ini dikarenakan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sendiri diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengajarkan akhlak yang baik. Selain itu, syair Arab mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pemikiran masyarakat. Ketika syair mengatakan A, begitu pula pemikiran masyarakat menjadi A dan sebaliknya.
Mari kita lihat contohnya! Salah satunya yaitu sikap suka Nabi terhadap perkataan Thorfah bin ‘Abd.
سَتُبْدِى لَكَ الْأيَّامُ مَا كُنْتَ جَاهِلًا # وَيَأْتِيْكَ بِالْأَخْبَارِ مَا لَمْ تَزَوَّدْ
Hari-hari akan menampakkan kepadamu sesuatu yang belum engkau ketahui.
Dan akan datang kepadamu pembawa berita yang engkau tidak membekalinya
Apa alasan Nabi menyukai perkataan di atas? Ya, karena kandungannya sejalan dengan ajaran keislaman.
2.
Sudut
Pandang Kholifah Umar bin Khattab
Umar bin Khattab dikenal sebagai khalifah yang paling sering mengkritik sastra dibanding dengan khalifah lainnya. Di sini ada dua poin utama yang disorot khalifah Umar ketika beliau mengkritik:
a. Objek / tema syair (النظرة الموضوعية))
Pertanyaan muncul, apa yang dimaksud dengan objek/tema pada sastra-dalam hal ini kita mengerucut membahas tentang syair-? Ya, syair itu sendiri, tidak membahas tentang si penyair atau lainnya. Lalu apa yang ada dalam suatu syair? Jawabannya yaitu lafadz, makna, metode, gaya bahasa, dan lainnya.
Beliau selalu mengulang syair Labid bin Rabi’ah yang berbunyi:
فَإِنَّ الْحّقَّ مَقْعَطُهُ ثَلاَثٌ # يَمِيْنٌ أو نِفَارٌ أَوْ جَلَاءٌ
Sesungguhnya kebenaran bisa diketahui dengan tiga hal
Sumpah, pengaduan ke pengadilan, atau bukti yang jelas
Dalam syair ini, Zuhair tidak hanya menunjukkan pengetahuannya terhadap hukum Islam, ia juga menghadirkan syairnya dengan pembagian yang epik. Jadi, tak hanya substansinya saja yang bagus, bentuknya pun dapat.
b. Nilai-nilai agama yang bersifat akhlak (النظرة الدينسة الخلقية)
Kritik sastra yang berlandaskan nilai-nilai agama masih berlanjut pada masa khalifah Umar bin Khattab. Contohnya dahulu ada seorang penyair bernama Hutoi’ah yang suka mencela dengan syairnya (syair hija’) kepada siapapun, bahkan istrinya. Dalam suatu kesempatan, ia mencela Zarbarqon bin Badr dengan mengatakan:
دَعِ الْمَكَارِمَ لَا تَرْحَلْ لِبَغْيَتِهَا # وَاقْعَدْ فَإِنَّكَ الطَّاعِمُ الْكَاسِي
Tinggalkanlah kemewahan dunia, janganlah engkau melangkah untuk mencarinya
Duduklah! Karena engkau seseorang yang memliki makanan dan pakaian
Zabarqon melaporkan kepada Umar akan hal ini. Khalifah ini menyuruh Hassan untuk mengecek apakah syair tersebut memanglah hija’ atau bukan. Setelah dicek, terbukti bahwa syair tersebut memang ditujukan untuk mencela.
Oleh perbuatannya, maka ia dicap tidak mendapatkan kemuliaan. Khalifah pun menahannya karena perbuatannya tersebut.
Kita bisa melihat dari contoh di atas, naqd tak hanya terbatas pada perkataan saja, melainkan juga bisa berujung pada hukuman tahanan penjara.
3.
Sudut
Pandang Khalifah Abu Bakar
Contohnya ketika beliau mendengar syair Labid bin Rabi’ah:
ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّهَ بَاطِل # وَكُلُّ نَعِيْمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلٌ
Ketahuilah, segala sesuatu yang ada selain Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan, tanpa terkecuali,pasti akan sirna
Ketika menanggapi syatr pertama ( ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّهَ بَاطِلأ) Khalifah Abu Bakar mengatakan "shodaqta", kamu benar. Akan tetapi, ketika menanggapi syatr kedua (وَكُلُّ نَعِيْمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلٌ), beliau mengatakan: “kadzabta”, kamu berbohong. “ Allah mempunyai kenikmatan yang tidak akan lenyap”. Maksudnya adalah surga.
*Walaupun sebenarnya yang dimaksud kenikmatan di sini menurut Labid adalah kenikmatan duniawi.
4.
Sudut Pandang Khalifah Usman bin Affan
Contohnya ketika mendengar perkataan Zuhair:
وَمَهْمَا تَكُنْ عِنْدَ امْرِئٍ مِنْ خَلِيْقَةٍ # وَإِنْ خَالَهَا تَخْفَى عَلَى النَاسِ تُعْلَمِ
Ketika mendengar perkataan ini, khalifah takjub dan mengatakan bahwa maknanya benar.
5.
Sudut Pandang
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali dianugerahi Allah dengan sense kuat untuk mengetahui keindahan seni yang memunculkan kritik sastra. Namun, jika dibandingkan dengan khulafaurrosyidin lainnya, beliau tidak banyak mengkritik sastra yang disebabkan banyaknya konflik yang terjadi.
Melalui
pemaparan di atas, kita sudah tahu bagaimana bentuk naqd pada masa
permulaan Islam. Penulis meminta maaf jika penjelasan di atas tidak terlalu
memahamkan. Penulis juga tidak menafikan bahwa mungkin ada beberapa penjelasan
yang tidak sesuai. Maka dari itu, diharapkan kepada pembaca jika menemukan kekeliruan
ataupun ingin menyampaikan saran dan kritiknya bisa tulis di kolom komentar. Penulis harap pengetahuan kita tidak sampai sini saja, kita bisa menggali lebih dalam dari kitab-kitab lain dan para guru kita.
Dikut dari kitab Fi an-Naqd al-Adabi al-Qodim ‘inda al-Arob karya Dr. Musthofa Abdur
Rohman hal. 68-90
Pada masa permulaan Islam, bisa dikatakan bagus tidaknya suatu sastra-dalam hal ini kita fokuskan tentang syair-itu sangat bergantung pada substansi atau isi yang terkandung dalam syair tersebut. Jika syair bernafaskan Islam maka syair tersebut akan dianggap bagus. Hal ini dikarenakan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sendiri diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengajarkan akhlak yang baik. Selain itu, syair Arab mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pemikiran masyarakat. Ketika syair mengatakan A, begitu pula pemikiran masyarakat menjadi A dan sebaliknya.
Mari kita lihat contohnya! Salah satunya yaitu sikap suka Nabi terhadap perkataan Thorfah bin ‘Abd.
سَتُبْدِى لَكَ الْأيَّامُ مَا كُنْتَ جَاهِلًا # وَيَأْتِيْكَ بِالْأَخْبَارِ مَا لَمْ تَزَوَّدْ
Hari-hari akan menampakkan kepadamu sesuatu yang belum engkau ketahui.
Dan akan datang kepadamu pembawa berita yang engkau tidak membekalinya
Apa alasan Nabi menyukai perkataan di atas? Ya, karena kandungannya sejalan dengan ajaran keislaman.
b. Bentuk (الشكل)
1. Alami dan tidak berlebihan / tidak dipaksakan maknanya (الطبع والتكلف)
Kritik dengan melihat dari bentukan syair apakah ia thob’ atau takalluf ini mulai lahir sejak masa Nabi. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu dengan adanya Al-Qur’an dan Hadits. Al-Quran begitu juga Hadis mencela dan melarang untuk takalluf.
Al-Qur’an:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan sedikitpun kepadamu atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ngada (Q.S. Shod:86)
Hadis:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakah orang-orang yang berlebihan (dalam agamanya)”
*Catatan: Kok yang thob’ dianggap lebih bagus? Bukankah syair memang terkenal kalau ia semakin takalluf / mubalaghoh maka semakin bagus pula syair tersebut? أعْذَبُ الشِّعْرِ أكْذَبُهُ
Hal ini kembali lagi kepada si pengkritik. Ingat, naqd bersifat relatif. Bisa saja menurut A syair yang thob’ adalah yang bagus. Bisa juga penurut kritikus lain syair yang takalluflah yang lebih bagus.
2. Keindahan lafadz dan pemilihan diksi (جمال اللفظة واختيارها)
Ketika Nabi berbicara kepada umatnya, beliau selalu menggunakan pilihan diksi yang baik, bagus, dan halus. Dahulu, beliau melarang seseorang untuk mengatakan "خَبُثَتْ نَفْسِي, dan diganti dengan ungkapan “لَقِسَتْ نَفْسِي”. Hal ini dilakukan karena lafadz لقس dinilai lebih baik dan lebih sopan.
3. Ringkas (الإيجاز)
Nabi menyukai perkataan yang ringkas, tidak bertele-tele. Oleh karena itu, beliau yang menunjukkan sikap suka terhadap perkataan Labid bin Rabi’ah ketia ia mengatakan:
1. Alami dan tidak berlebihan / tidak dipaksakan maknanya (الطبع والتكلف)
Kritik dengan melihat dari bentukan syair apakah ia thob’ atau takalluf ini mulai lahir sejak masa Nabi. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu dengan adanya Al-Qur’an dan Hadits. Al-Quran begitu juga Hadis mencela dan melarang untuk takalluf.
Al-Qur’an:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan sedikitpun kepadamu atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ngada (Q.S. Shod:86)
Hadis:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakah orang-orang yang berlebihan (dalam agamanya)”
*Catatan: Kok yang thob’ dianggap lebih bagus? Bukankah syair memang terkenal kalau ia semakin takalluf / mubalaghoh maka semakin bagus pula syair tersebut? أعْذَبُ الشِّعْرِ أكْذَبُهُ
Hal ini kembali lagi kepada si pengkritik. Ingat, naqd bersifat relatif. Bisa saja menurut A syair yang thob’ adalah yang bagus. Bisa juga penurut kritikus lain syair yang takalluflah yang lebih bagus.
2. Keindahan lafadz dan pemilihan diksi (جمال اللفظة واختيارها)
Ketika Nabi berbicara kepada umatnya, beliau selalu menggunakan pilihan diksi yang baik, bagus, dan halus. Dahulu, beliau melarang seseorang untuk mengatakan "خَبُثَتْ نَفْسِي, dan diganti dengan ungkapan “لَقِسَتْ نَفْسِي”. Hal ini dilakukan karena lafadz لقس dinilai lebih baik dan lebih sopan.
3. Ringkas (الإيجاز)
Nabi menyukai perkataan yang ringkas, tidak bertele-tele. Oleh karena itu, beliau yang menunjukkan sikap suka terhadap perkataan Labid bin Rabi’ah ketia ia mengatakan:
ألَا كُلَّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّه بَاطِلٌ
Ketahuilah, segala sesuatu yang ada selain Allah akan lenyap
Perkataan ini memiliki makna mendalam yang selaras dengan ajaran agama Islam yang disampaikan melalui ungkapan yang ringkas.
4. Menilai si penyair (الحكم على الشعراء)
Ketika Zarbarqon bin Badr datang kepada Nabi, ia mendendangkan syair dengan berbangga:
نَحْنُ الْكِرَامُ فَلَا حَيٌّ يُعَادِلُنَا # مِنَّا الْمُلُوْكُ وَفِيْنَا تُنْصَبُ الْبَيْعُ
Kami adalah orang-orang mulia maka tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kami.
Di antara kami terdapat raja-raja dan pada kamilah pembagian seperempat
Setelah Zarbarqon selesai, Nabi shallahu ‘alaihi wasallam shallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Hassan bin Tsabit untuk membalas syair tersebut. Lalu Hassan mengatakan:
إِنَّ الذَّوَائِبَ مِنْ فِهْرٍ وَإخْوَتَهُمْ # قَدْ بَيَّنُوا سُنَّةً للنَّاس تُتَّبَعُ
Sesungguhnya para pembesar dari Quraisy dan pengikutnya (para sahabat)
Mereka telah menjelaskan Sunnah-sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam untuk diikuti
Pada contoh di atas Zarbarqon bersyair dengan tujuan membanggakan diri. Kemudian dibalas oleh Hassan dengan membanggakan sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam.
Manakah bentuk naqdnya? Nabi shallahu ‘alaihi wasallam memilih Hassan dibanding dengan penyair lainnya. Inilah adalah bukti bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasallam menilai Hassan memang mampu bersyair dengan baik.
Perkataan ini memiliki makna mendalam yang selaras dengan ajaran agama Islam yang disampaikan melalui ungkapan yang ringkas.
4. Menilai si penyair (الحكم على الشعراء)
Ketika Zarbarqon bin Badr datang kepada Nabi, ia mendendangkan syair dengan berbangga:
نَحْنُ الْكِرَامُ فَلَا حَيٌّ يُعَادِلُنَا # مِنَّا الْمُلُوْكُ وَفِيْنَا تُنْصَبُ الْبَيْعُ
Kami adalah orang-orang mulia maka tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kami.
Di antara kami terdapat raja-raja dan pada kamilah pembagian seperempat
Setelah Zarbarqon selesai, Nabi shallahu ‘alaihi wasallam shallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Hassan bin Tsabit untuk membalas syair tersebut. Lalu Hassan mengatakan:
إِنَّ الذَّوَائِبَ مِنْ فِهْرٍ وَإخْوَتَهُمْ # قَدْ بَيَّنُوا سُنَّةً للنَّاس تُتَّبَعُ
Sesungguhnya para pembesar dari Quraisy dan pengikutnya (para sahabat)
Mereka telah menjelaskan Sunnah-sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam untuk diikuti
Pada contoh di atas Zarbarqon bersyair dengan tujuan membanggakan diri. Kemudian dibalas oleh Hassan dengan membanggakan sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam.
Manakah bentuk naqdnya? Nabi shallahu ‘alaihi wasallam memilih Hassan dibanding dengan penyair lainnya. Inilah adalah bukti bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasallam menilai Hassan memang mampu bersyair dengan baik.
Umar bin Khattab dikenal sebagai khalifah yang paling sering mengkritik sastra dibanding dengan khalifah lainnya. Di sini ada dua poin utama yang disorot khalifah Umar ketika beliau mengkritik:
a. Objek / tema syair (النظرة الموضوعية))
Pertanyaan muncul, apa yang dimaksud dengan objek/tema pada sastra-dalam hal ini kita mengerucut membahas tentang syair-? Ya, syair itu sendiri, tidak membahas tentang si penyair atau lainnya. Lalu apa yang ada dalam suatu syair? Jawabannya yaitu lafadz, makna, metode, gaya bahasa, dan lainnya.
Beliau selalu mengulang syair Labid bin Rabi’ah yang berbunyi:
فَإِنَّ الْحّقَّ مَقْعَطُهُ ثَلاَثٌ # يَمِيْنٌ أو نِفَارٌ أَوْ جَلَاءٌ
Sesungguhnya kebenaran bisa diketahui dengan tiga hal
Sumpah, pengaduan ke pengadilan, atau bukti yang jelas
Dalam syair ini, Zuhair tidak hanya menunjukkan pengetahuannya terhadap hukum Islam, ia juga menghadirkan syairnya dengan pembagian yang epik. Jadi, tak hanya substansinya saja yang bagus, bentuknya pun dapat.
b. Nilai-nilai agama yang bersifat akhlak (النظرة الدينسة الخلقية)
Kritik sastra yang berlandaskan nilai-nilai agama masih berlanjut pada masa khalifah Umar bin Khattab. Contohnya dahulu ada seorang penyair bernama Hutoi’ah yang suka mencela dengan syairnya (syair hija’) kepada siapapun, bahkan istrinya. Dalam suatu kesempatan, ia mencela Zarbarqon bin Badr dengan mengatakan:
دَعِ الْمَكَارِمَ لَا تَرْحَلْ لِبَغْيَتِهَا # وَاقْعَدْ فَإِنَّكَ الطَّاعِمُ الْكَاسِي
Tinggalkanlah kemewahan dunia, janganlah engkau melangkah untuk mencarinya
Duduklah! Karena engkau seseorang yang memliki makanan dan pakaian
Zabarqon melaporkan kepada Umar akan hal ini. Khalifah ini menyuruh Hassan untuk mengecek apakah syair tersebut memanglah hija’ atau bukan. Setelah dicek, terbukti bahwa syair tersebut memang ditujukan untuk mencela.
Oleh perbuatannya, maka ia dicap tidak mendapatkan kemuliaan. Khalifah pun menahannya karena perbuatannya tersebut.
Kita bisa melihat dari contoh di atas, naqd tak hanya terbatas pada perkataan saja, melainkan juga bisa berujung pada hukuman tahanan penjara.
Contohnya ketika beliau mendengar syair Labid bin Rabi’ah:
ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّهَ بَاطِل # وَكُلُّ نَعِيْمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلٌ
Ketahuilah, segala sesuatu yang ada selain Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan, tanpa terkecuali,pasti akan sirna
Ketika menanggapi syatr pertama ( ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّهَ بَاطِلأ) Khalifah Abu Bakar mengatakan "shodaqta", kamu benar. Akan tetapi, ketika menanggapi syatr kedua (وَكُلُّ نَعِيْمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلٌ), beliau mengatakan: “kadzabta”, kamu berbohong. “ Allah mempunyai kenikmatan yang tidak akan lenyap”. Maksudnya adalah surga.
*Walaupun sebenarnya yang dimaksud kenikmatan di sini menurut Labid adalah kenikmatan duniawi.
Contohnya ketika mendengar perkataan Zuhair:
وَمَهْمَا تَكُنْ عِنْدَ امْرِئٍ مِنْ خَلِيْقَةٍ # وَإِنْ خَالَهَا تَخْفَى عَلَى النَاسِ تُعْلَمِ
Apapun
tabiat yang dimiliki seseorang
Walaupun
dia mengiranya samar bagi manusia, ia akan diketahui
Maksud
dari syair tersebut adalah setiap orang memiliki kepribadian yang baik dan buruk.
Ia akan selalu berusaha untuk
menyembunyikan sisi buruknya agar tidak diketahui oleh orang lain sampai ia
menyangka ia telah berhasil menyembunyikannya. Padahal, mau tidak mau suatu
nanti akan diketahui juga. Mungkin bisa kita samakan dengan pribahasa
“Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”.Ketika mendengar perkataan ini, khalifah takjub dan mengatakan bahwa maknanya benar.
Khalifah Ali dianugerahi Allah dengan sense kuat untuk mengetahui keindahan seni yang memunculkan kritik sastra. Namun, jika dibandingkan dengan khulafaurrosyidin lainnya, beliau tidak banyak mengkritik sastra yang disebabkan banyaknya konflik yang terjadi.
Terima
kasih.

Komentar
Posting Komentar