Langsung ke konten utama

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

            Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ''إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُyang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya.

Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu.

Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu  ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh perempuan kaum Ansar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama. Bahkan, mereka senantiasa mengajari ajaran Islam perempuan kaum Muhajirin. Selain itu, ada juga seorang perempuan datang di malam hari kepada sayidah Aisyah r.a. untuk menanyakan hukum-hukum ajaran Islam sepeti hukum haidh, nifas, dan jinayat. Ini semua menandakan bahwa perempuan tidak perlu merasa malu memperdalam ilmu agama mereka.

 

Jenis - Jenis Malu

Dalam Bahasa Arab ada dua lafadz yang menunjukkan makna malu, yaitu al-haya' (الحياء) dan al-khojal  (الخجل) . Keduanya mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Al-haya' adalah perasaan enggan yang mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan tercela, seperti malu untuk mencuri, malu berbohong, dan malu berbuat curang. Inilah pengertian malu yang dimaksud dalam hadis di atas, malu yang merupakan akhlak bagi agama Islam.  Sedangkan al-khojal adalah kebalikan dari al-hayaa. Al-khojal berarti perasaan enggan untuk melakukan perbuatan terpuji, seperti malu untuk menuntut ilmu, malu mengaji, dan malu melakukan amar ma’ruf  nahi munkar.

Pandangan masyarakat dunia, khususnya Indonesia, masih menganggap kedua lafadz ini sama. Padahal objeknya jelas berbeda. Oleh karenanya, jika seseorang merasa malu untuk berbuat kebaikan maka ini tidak dibenarkan syariat. Malu yang disyariatkan adalah ketika seseorang merasa malu bermaksiat kepada kepada Allah SWT. untuk melakukan perbuatan tercela.


والله أعلم بالصواب

Jika menemui keganjalan atau ingin menyampaikan kritik dan saran bisa menghubungi @soetjiamalia16 via ig

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...