Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat
kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum
menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa
jahiliah.
Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra
tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti
Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda. Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis
akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “في النقد الأدبي القديم عند العرب” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas
Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A.
Berbicara mengenai kritik sastra pada masa
jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam.
1. 1. النقد الفردي (kritik
terhadap syair dirinya sendiri)
Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia mengkrtitik
syairnya sendiri kemudian melakukan perbaikan. Hal ini dicontohkan oleh penyair
Zuhair bin Abi Sulma. Beliau memiliki qasidah yang disebut hauliyat/
حوليات. Artinya, qasidah ini dibuat oleh Zuhair dalam kurun waktu selama
satu tahun.
Mengapa demikian? Ketika beliau menulis suatu syair, beliau tidak langsung menyampaikannya ke khalayak ramai. Setelah menulis, beliau akan memuroja’ahnya beberapa kali, melakukan perbaikan, melalui proses tankih dan tahzib terlebih dahulu. Jika tidak cocok, maka akan dibuang dan ditambah dengan yang lebih bagus. Ketika dirasa sudah layak dan beliau ridho terhadap syairnya, barulah syair ini akan disampaikan. Proses pembuatan ini bisa mencapai sampai satu tahun, sehingga disebut dengan hauliyat yang diambil dari kata haul/ حول (tahun).
2. 2. النقد الارتجالي (kritik secara spontan)
Dalam mengkritik karya sastra, para kritikus langsung
mengkritik secara spontan sesuai dengan apa yang dirasa. Kritik ini dicontohkan
oleh Thorfah ketika mendengar Musayyab melantunkan syair di bawah ini
أَلا اِنعِمْ صَباحاً أَيُّها الرَبعُ وَاِسلَمِ # نُحَيّيكَ عَن شَحْطٍ وَإِن لَم تَكَلَّمِ
Selamat pagi yang menyenangkan duhai rumah
kami mengucapkan selamat kepadamau dari kejauhan meskipun kau tak berbicara
وَقَد أَتَناسى الهَمَّ عِندَ اِحتِضارِهِ # بِناجٍ عَلَيهِ الصَيعَرِيَّةُ مُكدَمِ
Aku lupa dengan kesedihanku ketika ia datang dengan ontanya yang lehernya berbulu bagus.
Ketika Thorfah mendengarkan syair ini, beliau langsung mengatakan “استنوق الجمل”. Artinya, Musayyab menyifati atau memberikan ciri unta jantan (ناج) dengan ciri unta perempuan, yaitu berbulu (الصيعرية). Menurutnya, Musayyab telah salah dalam bersyair karena menyifati unta jantan dengan sifat unta perempuan.
Kritik ini disebut النقد الارتجالي karena kritikus mengkritik langsung secara spontan tatkala ia mendengar syair. Contoh di atas juga termasuk kritik linguistik yang mana pembahasannya ada di bawah ini.
3. 3. النقد اللغوي (kritik linguistik)
Kritik ini berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam syair. Apabila kritikus menemukan suatu kata yang tidak tepat pada konteks kalimat yang diutarakan oleh penyair, maka ia akan mengkritik dan memberi tahu kesalahannya. Hal ini dicontohkan oleh An-Nabighoh Adz-Dzibyani ketika mengkritik syair yang dilantunkan oleh Hassan bin Tsabit.
لَنَا الجَفَنَاتُ الغُرُّ يَلمَعنَ بِالضُّحَى # وَأَسيَافُنَا يَقطُرنَ مِن نَجدَةٍ دَما
Kami memiliki wadah makanan dan minuman berwarna putih yang berkilau di waktu dhuha
Dan pedang kami bertetesan darah karena menyelamatkan manusia
An-Nabighoh
mengritik penggunaan lafadz الجفنات dan أسياف. Ia berkata, “Kau
adalah penyair, kenapa menyedikitkan wadah dan pedangmu ?” .
Yang perlu diketahui bersama adalah bahwa suatu syair akan lebih bagus jika menggunakan kata-kata yang mubalaghoh. Jika dibandingkan penggunakaan jamak qillah dengan jamak katsroh, maka sebaiknya menggunakan jamak katsroh dalam bersyair.
· الجفنة memiliki jamak qillah berupa جَفَنَات dan jamak katsroh berupa جِفَان
· سيف memiliki bentuk jamak qillah berupa أَسْيَاف dan jamak katsroh berupa سُيُوف
Maka alangkah lebih baiknya jika penggunaan syair di atas dengan menggunakan jamak katsroh, bukan jamak qillah. Jadi kata جفنات diganti menjadi جفان dan kata أسياف diganti menjadi سيوف.
4. 4. النقد الثقافي (kritik kebudayaan)
Contoh dari kritik ini adalah lanjutan dari syair yang dilantunkan oleh Musayyab di atas.
وَلَدنَا بَنِي العَنقَاءِ وَابنَي مَحَرَّقٍ # فَأَكرِم بِنَا خَالاً وَأَكرِمِ بِنَا ابنَمَا
Kami melahirkan Bani Anqo dan Bani Muharriq
Betapa mulianya kami sebagai paman dan betapa mulianya anak-anak kami
Menurut An-Nabighoh, membangga-banggakan anak itu tidak bagus dan tidak sesuai dengan kebudayaan orang Arab. Seharusnya berbanggalah terhadap orang tua, atau dalam artian di sini adalah nenek moyang. Jadi, jika syair tersebut menggunakan redaksi membangga-banggakan orang tua, ini akan lebih bagus karena sesuai dengan budaya orang Arab.
5. 5. النقد التفضيلي (kritik
dengan mengunggulkan penyair dari penyair lainnya)
Seorang kritikus mengunggulkan salah seorang penyair dari penyair lainnya. Contohnya adalah atas apa yang dilakukan oleh An-Nabighoh terhadap Khonsa. Setelah kematian saudaranya, Sakhr, Khonsa selalu mendendangkan syair, salah satu baitnya seperti ini.
وَإِنَّ صَخراً لَتَأتَمَّ الهُداةُ بِهِ # كَأَنَّهُ عَلَمٌ في رَأسِهِ نارٌ
Sungguh orang-orang yang
memberi petunjuk itu menjadi pengikut Sakhr
Dia seolah-seolah gunung yang
di atas kepalanya terdapat api
An-Nabigoh menggunggulkan syair Khonsa karena memiliki tasybih
yang bagus كَأَنَّهُ عَلَمٌ في رَأسِهِ نارُ.
Tasybih
seperti ini jarang terpikirkan oleh orang lain, oleh karenaya An-Nabighoh mengunggulkan
Khonsa.
Wallahu A’lam. Jangan sungkan-sungkan
untuk mengoreksi dan memberi kritik yang membangun
@soetjiamalia16
Masya Allah Syukron Katsir mba suci, sangat membantu sekali, berkah insya Allah
BalasHapusAamiin.. Semangat
HapusMasya Allah ka,lanjutkan!
BalasHapusSiap. Insyaallah
Hapus