Langsung ke konten utama

Kriteria Kritik Sastra pada Masa Jahiliyah

 


Penilaian terhadap sastra berbeda-beda setiap masanya. Setiap masa memiliki standar dan kriteria masing-masing yang relevan dengan perkembangan sastra kala itu. Setelah mengenal contoh-contoh naqd pada masa jahiliyah, kita akan beranjak mengenai pembahasan kriteria kritik sastra pada masa jahiliyah.

Adapun ketentuan kritik sastra jahiliyah menurut Dr. Mustofa Abdurahman Ibrahim dalam kitab في النقد الأدبي القديم عند العرب halaman 51-54 adalah sebagai berikut:

      1. Sense / insting/ perasaan alami / (الذوق الفطري)

 Pada masa jahiliyah belum ada standar khusus dalam kritik sastra. Krirtik sastra cenderung muncul dari insting pengkritik secara alami dan murni tanpa berpacu terhadap kaidah-kaidah karena memang belum ada ketentuan kriteria secara pasti.

Contohnya adalah kritik yang dilakukan Torfah terhadap syair Musayyab. Beliau mengkritik Musayyab atas kesalahannya dalam penggunaan ciri unta betina pada unta jantan. Klik di sini untuk membaca syair Musayyab yang dikritik oleh Torfah.

Kritik ini dibangun berdasarkan instingnya yang didukung oleh pemahamannya terhadap tabiat lingkungan bangsa Arab serta pengetahuannya mengenai ciri-ciri dan sifat-sifat pada hewan. Terlebih ciri yang melekat pada hewan yang memiliki keterkaitan erat dengan bangsa Arab, seperti  unta.

2. Spontan (الارتجالي)

Karakter ini berkaitan erat dengan adz-dzauq al-fithri yang menjadi pokok penting dalam mengkritik. Maksudnya, ketika seorang kritikus merasakan sesuatu terhadap sastra-dalam hal ini kita mengkrucut ke syair-maka ia mengkritik syiir tersebut baik secara spontan, ataupun setelah mempelajari objek syairnya (seperti penggunaan gaya bahasa, lafadz, dan makna syair). Namun, karakter yang biasa dipakai pada masa jahiliyah adalah spontanitas dalam menyampaikan kritik, seketika setelah mendengar syair,  tanpa diuji dahulu kebenarannya.

      3. Bersifat Juz’i (الجزئية)

Pada masa jahiliyah, kritikus hanya fokus terhadap terhadap beberapa aspek saja, seperti wazan, lafal, dan makna sya’ir. Para kritikus hanya mengarah ke beberapa aspek saja dengan meninggalkan aspek aspek lain  dalam syi’ir. Hal ini berbeda dengan kritik sastra zaman modern yang mencakup seluruh aspek dalam ranah pengkritikan.

      4. Umum (العموم)

Ketika kritikus menyampaikan kritikannya, seringkali mereka mengkritik tanpa menyebutkan alasan dan sebab mengapa ia mengkritik bagia

5. Ringkas (الإيجاز)

Begitulah para kritikus sastra pada masa jahiliyah dalam mengkritik karya sastra milik penyair lainnya, yaitu dengan dengan menggunakan ungkapan yang ringkas, tidak bertele-tele. Seperti perkataan Thorfah terhadap Musayyab: “استنوق الجمل“. Ungkapan yang singkat ini mengandung unsur kritik, yakni Musayyab menyifati  unta jantan dengan  sifat unta betina (الصيعرية).

Baca juga 

Contoh-contoh Naqd pada Masa Jahiliyah

Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya

Jangan sungkan-sungkan untuk memberi masukan dan membenarkan jika terdapat kekeliruan (@soetjiamalia)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

               Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ' 'إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ ,  yang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya. Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu. Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu   ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang ...

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...