Langsung ke konten utama

Seratus Hari, Guru T'lah Kembali ke Pangkuan Ilahi


Dua Bulan Sebelum November

 

Pembuatan bahs -sebutan makalah berbahasa Arab- sudah menjadi ritual sejak dahulu bagi kelas tiga Madrasah Aliyah Program Keagamaan Al-Hikmah 02. Bahs ini menjadi syarat pengambilan ijazah. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap kelompok dibimbing salah seorang pembina – mungkin ibaratnya dosen pembimbing kalau diperkuliahan.

Kaget bukan main, tertulis di selembaran kertas yang ditempel di tembok kelas nama Suci Amalia dan Ayuni dalam sebuah kolom dengan pembimbing K.H. Mukhlas Hasyim, M.A., kepala madrasah. Pengumuman ini membuatku agak takut. Rasanya, untuk menemui beliau saja tidak sanggup karena malu akan minimnya pengetahuan. Takut juga kalau-kalau lidah ini belibet ketika berbicara dengan beliau.

Namun, saya akui hal ini merupakan rezeki nomplok yang jarang-jarang bisa didapatkan. Bahs bisa dijadikan wasilah untuk lebih dekat lagi dengan beliau. Wasilah agar saya mendapatkan ilmu dari beliau.

Langsung saja. Saya sowan beberapa kali ke Abah sebelum menulis bahs. Sowan pertama, kami menyetorkan dua judul. Kemudian beliau menyarankan untuk mengambil judul ‘ Min Akhthooil Mushollin’. Judul ini kami ambil karena Abah lumayan sering menyinggung pembahasan ini di pengajian.

Sowan kedua, saya menyerahkan rancangan isi makalah. Setelah beliau setuju dan memberi arahan, saya langsung pergi ke Cirebon sendirian untuk mengerjakan bahs bersama partner saya yang tinggal di sana, Ayuni. Perjalanan kali ini adalah pengalaman pertama ke Cirebon dengan menggunakan bus, sendirian. Bermodalkan uang Rp. 65.000, kouta whatsapp, dan keberanian, akhirnya saya melihat Ayuni menjemput saya di samping jalan raya. Alhamdulillah, tidak tersesat.

Tiga hari kami menghabiskan waktu bersama di satu kamar sembari menulis bahs. Membuka beberapa referensi, corat-coret sana sini. Untuk masalah kepenulisan, Ayuni memang jagonya, tulisan tangannya sangat rapi. Jadi, kupasrahkan penulisan padanya.

Sowan ketiga, Ayuni yang menemui Abah. Ia ke pondok sembari menunggu berkas-berkas sekolah yang harus disiapkan untuk melanjutkan studinya ke Turki. Hasil sowan ini kami mendapatkan revisian dari Abah. Kata beliau, poin-poinnya harus ditambah, beberapa mufrodat redaksinya harus diubah. Sowan ini terjadi bulan Agustus 2019.

Setelah mendapat revisian, penggarapan bahspun terjeda karena Ayuni sudah pergi ke Turki dan saya pun sudah aktif kuliah di UIN Jakarta. Revisian baru kami rampungkan ketika liburan semester dua, walaupun komunkasi  Indonesia-Turki hanya sebatas chat whatssapp. Bahs ditulis ulang. Kali ini diketik rapi di microsoft word. Siasat kalau-kalau mendapatkan revisi lagi tidak perlu ditulis ulang.

Semuanya siap di awal September. Tanggal 9 september 2020, saya pergi ke pondok untuk menemui Abah. Di Rabu siang, beliau mempunyai jadwal ngasto. Saya kembali ke kamar santri dan berencana menemui beliau di sore hari. Alhamdulllah beliau mengizinkan saya masuk ke ndalem baru beliau dengan ditemani salah seorang adik kelas.

Beliau mempersilahkan kami duduk di atas kursi. Aslinya, saya sedikit merasa tidak enakan. Saya lebih suka di atas karpet sejujurnya. Setelah dengar-dengar dari alumni lain, beliau memang selalu mempersilahkan alumni untuk duduk di sofa.

Saya langsung menyerahkan lembaran bahs ke tangan beliau sekaligus menyodorkan pulpen b’lieve. Beliau mencoret beberapa bagian sambil menjelaskan apa saja yang harus direvisi, sedikit lagi.

Dimulai dari cover, ada tiga coretan di sana. كتبته الطالبتان  diubah menjadi تقديم saja dan bubuhan kalimat الطالبة sebelum menuliskan nama.  Di bagian فهرس المحتويات beliau mencoret-coret lumayan banyak, juga mengoreksi tulisan yang masih saltik, الفراج menjadi الفرج contohnya.

”Kalau sudah, nanti tinggal taruh di meja saya saja di ma’had aly.” Begitulah jawaban beliau ketika saya menanyakan apakah saya harus menemui beliau lagi seusai menyelesaikan revisian terakhir atau tidak.

Beliau menutup pertemuan Rabu sore itu. Kamipun pamit dan segera kembali ke kamar. Saya melanjutkan revisian di malam hari. Kemudian mengeprint bahs esok paginya. Jam 10 pagi saya ke kantor beliau dan menaruhnya di atas meja. Selesai. Ijazah bisa diambil setelah mendapat memo khusus dari Ustadz Lutfi, waka kurikulum MAK.

Saya berharap ketika pandemi berakhir bisa menemui beliau lagi tanpa syarat peraturan protokol kesehatan ketat dari pondok, bisa mengaji tafsir Jalalain di Masjid An-Nur ketika liburan semester perkuliahan, dan sowan di ndalem lagi.

Ternyata kabar duka tiba-tiba lewat di grup whatsapp alumni.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Abah  seda 11.40”

Pesan singkat ini lewat di grup MAK CIPUTAT ISTIMEWA, grup alumni MA-Al-Hikmah yang studi di Ciputat pada pukul 11.55 WIB, 14 November 2020.

Tanpa sadar, air mata bercucuran sangat deras dari kedua bola mata. Tak menyangka. Abah yang selalu kami nantikan pertemuan dengannya, meminta nasihat, dan menimba ilmu langsung di majlis pengajian, kini sudah meninggalkan kami di muka bumi.

Rasanya, alam pun ikut menangis akan kepergian guru kami. Langit mendung, disusul dengan kucuran air hujan deras. Beberapa saat pikiran saya hanya bisa mengingat kenangan manis bersama beliau. Belajar Ushul Fiqh, Fiqh, Tarjamah, sorogan Fathul Mu’in menjadi kenangan manis di moving class setiap minggunya. Sesekali pergi ke kantor beliau untuk meminta nasihat beliau. Sesekali menjemput beliau di kantor Ma’had Aly ketika beliau tiba-tiba keluar di tengah pelajaran.

Kami tak bisa berbuat apa-apa. Sosok guru abadi kini sudah di liang lahat, dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami’ Al-Hikmah 01. Makam beliau berjejeran dengan Abah kami juga, Abah Ubed.

Kini sudah 100 hari. Hanya menangisi kepergian makhluk Allah terus-menerus sepertinya bukan juga keinginan Abah. Estafet keilmuan ada di pundak para santrinya. Estafet dakwah keislaman, menebarkan kebaikan, membumikan pemahaman agama masih terus berlanjut kepada para penimba ilmu agama.

Semoga kelak kita dipertemukan di surga dengan sosok guru abadi kita, Abah Mukhlas. Aamiin

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

               Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ' 'إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ ,  yang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya. Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu. Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu   ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang ...

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...