Langsung ke konten utama

Kenapa Manusia Diberi Taklif?

Review Buku - Islam Yang Saya Anut

Selamat pagi, siang, sore, dan malam.

Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A adalah salah seorang ulama terkenal di bumi pertiwi kita. Beliau aktif berdakwah, baik dengan menghadiri majelis-majelis pengajian, mengadakan pengajian lewat kanal YouTube, bahkan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui buku.

Ya, beliau sangat aktif berdakwah  melalui literasi. Salah satunya adalah melalui buku yang berjudul Islam Yang Saya Anut.

Sekilas, dari judul buku ini kita akan beranggapan bahwa buku ini mungkin memaparkan Islam yang dianut penulis dari sekian banyak ‘Islam’ yang dianut masyarakat. Namun, ternyata tidak demikian . Buku ini lebih membahas Islam secara global dengan menjelaskan ajaran Islam yang pokok dan tidak bertele-tele.

Sebagai pembuka kita akan membahas apa garis besar dari agama, manusia, dan ajaran Islam.

Sebagaimana yang kita ketahui ada berbagai macam agama di muka bumi ini. Kendati ajarannya sama atau bertolak belakang, tetapi secara umum semua agama terutama agama samawi menekankan pada salah satu fungsi agama, yaitu membina akhlak manusia. Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan membaca The Ten Comandement, Perjanjian Lama, dan hadis Nabi tentang akhlak.

Lalu kenapa Allah tidak memutuskan manusia untuk memiliki satu agama saja? Ini adalah bukti bahwa Allah memperlakukan manusia secara istimewa. Dia telah menganugrahkan kepada manusia akal dan potensi untuk memilih dan memilah mana yang baik untuknya. Allah tidak ingin memperlakukan manusia seperti halnya Dia memperlakukan alam raya yang tidak diberi pilihan, atau memperlakukannya seperti binatang yang tidak mempunyai akal.

Selanjutnya, tentu keberagaman agama ini bukanlah alasan untuk saling menyalahkan. Tuntutan kita di muka bumi walaupun dengan latar belakang agama yang berbeda-beda adalah saling toleransi dan bekerja sama dalam ranah kebajikan, serta menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.

Lalu, kenapa manusia diberi taklif oleh Allah? Apa alasannya?

Tentu, di muka bumi ini manusia terkena taklif atau kewajiban. Mengapa harus ada taklif? Adanya taklif ini adalah bukti kasih saying Allah terhadap hambanya, karena hakikatnya manusia tidak tahu akan dirinya, siapa dirinya dan untuk apa diciptakan. Bahkan para pakar pun berbeda pendapat dalam mendefinisikan manusia karena manusia memang makhluk yang sangat unik dan mempunyai masalah yang kompleks. Selain itu, manusia mempunyai syahwat yang berpotensi mendorongnya untuk berbuat hal-hal negatif. Hemat saya, manusia membutuhkan suatu tatanan yang mengatur dirinya membawanya untuk berbuat hal-hal positif karena manusia tidak mengetahu hakikat keberadaannya di muka bumi.

Selain itu, Allah menghadirkan taklif bagi manusia sebagai bukti bahwa Dia tidak membiarkan manusia sendirian dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Ia memberikan petunjuk kepada manusia agar ia dapat memanfaatkan bumi sekaligus memelihara dirinya.

Berbicara tentang memelihara diri, inilah tujuan adanya syariat. Tujuan adanya syari’at ini lebih dikenal dengan Maqosid As-Syariah, yang dengan rinci menjelaskan bahwa syari’at bertujuan untuk menciptakan kebaikan dan keadilan serta mengantar manusia untuk berbuat baik bagi dirinya dan orang lain. Cakupannya meliputi menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.

Bersambung……

Sekian ringkasan buku Islam Yang Saya Anut sampai hal 97. Untuk sisa halaman yang lain, insyaallah ada di postingan selanjutnya.

 

Suci Amalia

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

               Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ' 'إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ ,  yang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya. Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu. Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu   ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang ...

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...