Langsung ke konten utama

Ramadan di Tengah Pandemi Corona

Covid-19 (Corona virus desease 2019) sudah merajalela di bumi pertiwi kita. Kasus yang bermula hanya menjangkit dua orang sepasang ibu dan anak di awal Maret, sekarang ketika tulisan ini dibuat (24/4/20) tercatat ada 7.775 orang dinyatakan positif dan angka kematian mencapai 647 jiwa seperti yang dilansir oleh situs web resmi covid19.go.id.

Perubahan drastis sangat dirasakan  penghuni bumi, tak terkecuali warga Indonesia. Bahkan mayoritas belum siap menghadapi realita yang ada.Faktanya, covid-19 memicu perubahan di segala aspek. Mulai dari sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan agama sekalipun. Padahal sekarang ini kita sudah memasuki bulan suci Ramadan.

Kehadiran Covid-19 membuat wajah Ramadan tahun ini sepertinya agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan sangat berbeda. Ramadhan yang biasanya diisi dengan ngabuburit, buka bersama, tarawih berjamaah, tadarus qur’an, i’tikaf, dan takbir keliling rupanya harus bersabar untuk direalisasikan tahun depan ketika pandemi ini berkahir. Segala macam ritual ibadah cukuplah dilaksanakan di rumah saja untuk menghindari adanya kerumunan banyak orang. 

Kita jangan mengklaim bahwa covid-19 sebagai penghalang ibadah. Ibadah tidaklah dilarang, melainkan caranya saja yang berbeda, yaitu dengan menjadikan rumah sebagai tempat ibadah bagi keluarga. Salat tarawih yang membuat orang-orang berbondong-bondong ke masjid, akan menjadi salah jika tetap dilakukan. Karena kita tahu orang-orang di sekitar kita sudah terpapar virus ini atau tidak, atau malahan kita yang menularkannya kepada orang lain.

Beribadah di rumah tidak akan mengurangi eksistensi dan kualitas ibadah itu sendiri, karena yang terpenting adalah nilai kekhusyuan dan keikhlasan seorang hamba. Bukankah hal ini benar adanya ? Ibadah bukan dinilai dari dzohir atau yang nampak saja, namun adanya keserasian antara gerakan anggota butuh dan keimanan di dalam hati.

Semoga pandemi ini cepat berakhir. Sehingga penduduk bumi bisa melakukan aktivitas kesehariannya seperti sedia kala. Aktivitas yang berbasis online kembali menjadi  belajar di kelas, berbelanja di pasar, dan kerja di kantor. Kita akan saling menyapa dengan fisik asli tanpa susah payah memakai sarung tangan dan masker.


Kritik dan saran : @soetjiamalia16 (ig)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

               Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ' 'إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ ,  yang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya. Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu. Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu   ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang ...

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...