Nasib perempuan di kala pandemi covid-19 bukan berarti ia menyelamatkan dirinya secara utuh. Jika selamat di sini dimaksudkan selamat dari penyebaran virus, memang benar adanya. Bahkan, selain perempuan juga wajib hukumnya mematuhi segala protocol penanganan covid -19 jika ia ingin selamat.
Sebagian perempuan merasakan hal yang lebih menantang ketika ia berada di rumah. Kodratnya sebagai perempuan ditambah pembiasan gender yang terjadi di masyarakat membuatnya harus kebal terhadap paradigma masyarakat yang menyatakan hal-hal negative dan tuntutan yang dilayangkan.
Perempuan yang menjadi sasaran salah satunya adalah para mahasiswi yang terpaksa belajar di rumah ketika masa pandemi. Statusnya sebagai perempuan metuntutnya untuk menangani masalah rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga, kegiatan kuliah online, dan keaktivitasan di beberapa komunitas menuntut untuk dieksekusi. Bahkan tak jarang harus dilakukan dalam waktu yang sama. Itu bukanlah hal yang mudah.
Omongan tetangga menjadi pelengkap tantangan wanita di tengah pandemi. Apalagi jika sudah menginjak usia matang untuk menikah. Banyak cibiran tetangga tentang keharusannya menikah, katanya takut menjadi perawan tua. Padahal hal ini tidak pernah ia temukan ketika kuliah berjalan offline seperti biasanya. Ia bisa berkarya bebas dengan dukungan teman seperjuangan.
Begitupun masalah pekerjaan. Ia suka dibanding-bandingkan dengan orang-orang seumurannya. “Dia sudah bekerja di peusahaan A loh," , "dia sudah mengajar di sekolah ini," , "tuh liat dia bisa ngebliin orang tuanya rumah”. Membanding-bandingkan memang tak salah sepenuhnya, namun apakah semua orang harus mengikuti langkah hidup temannya ? Salahkah jika ia mempunyai rancangan tersendiri untuk kehidupan pribadinya ?
Perempuan memiliki keunikan yang luar biasa, namun masalah yang menggunung pula.
Semangat untuk perempuan di manapun anda berada. Mari bersama-sama memanfaatkan masa pingitan ini semaksimal mungkin, sebaik-baiknya.
Komentar
Posting Komentar