Langsung ke konten utama

Pendidikan Bangsa Arab dalam Kacamata Sejarah

                           Tempat-Tempat  Ta’lim Sebelum Tersebarnya Madrasah

                                 

Bismillahirrohmanirrohim.

Ngomong-ngomong, postingan ini adalah tulisan pertama di blog ini. Untuk memulainya saya akan sedikit mereview pembahasan dalam kitab At-Tarbiyyah ‘Abro at-Taarikh (التربية عبر التاريخ) karangan  Dr. Abdulllah Abdu ad-Daim. Ya, harapannya lebih memahamkan untuk pribadi atau teman-teman yang pernah baca ulasan materi ini dari kitabnya langsung, tapi belum paham isi dari kitab ini apa. Selain itu, juga untuk melatih kemampuan saya menulis.

Oke.

Kita tahu sebelumnya bahwa dunia Islam sendiri pada awal kemunculannya belum memiliki lembaga pendidikan yang bernama madrasah. Maksudnya, Islam belum membangun sebuah tempat khusus di mana orang-orang bisa menimba ilmu dari seorang guru, berdiskusi sesama teman, beradu argumen dalam debat, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

Awal munculnya madrasah di dunia Islam sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai bentuk dan sistematika  seperti sekarang barulah dimulai pada Dinasti Saljuk. Madrasah ini bernama Madrasah Nizamiyah yang terletak di Bagdad. Dibangun oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk pada abad ke-11 M.

Lalu, di manakah umat musim menimba ilmu sebelum adanya madrasah ini ? Mungkin pernah dengar kalau ta’lim tersebut diadakan di masjid. Apakah hanya sebatas di masjid ? Katanya toko buku pun kerap dijadikan orang-orang sebagai tempat asyik ngobrol seputar ajaran Islam. Benarkah ?

Ya, zaman dahulu tempat  ta’lim tidak terbatas pada satu tempat khusus saja seperti sekarang ini, melainkan berlokasi di berbagai tempat. Saya akan menyebutkan satu per satu.

1)      Kuttab atau Maktab

Kemunculan Kuttab sudah ada sejak masa pra-Islam, walaupun masih sangat sedikit. Kemudian setelah Islam datang, kuttab menjadi tempat utama dalam melakukan ta’lim dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam. Tempat ini digunakan sebagai tempat mengajari anak-anak dalam mempelajari al-Qur’an dan lain-lain.

Kuttab terbagi menjadi dua jenis :

a ) Kuttab yang diperuntukkan untuk mempelajari membaca al-Qur’an dan menulis, biasanya diadakan di rumah ulama.

b ) Kuttab yang diperuntukkan untuk mempelajari isi al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam lainnya, umumnya diadakan di masjid.

2)      Istana

Pada zaman dahulu, istana khalifah ternyata sudah mengadakan ta’lim di dalamnya. Ta’lim ini lebih dikhususkan untuk anak-anak mereka. Hal ini dimaksudkan agar para pewaris tahta mempunyai bekal yang siap dalam menghadapi beban yang akan ia tanggung nantinya. Kegiatan ini akan berakhir sampai mereka memasuki masa remaja. Pada masa Dinasti Fathimiyah berkuasa, mereka mempunyai langkah besar dalam menjadikan madrasah di istana mereka yang dikhususkan untuk anak-anak.

3)      Toko buku

Wajah toko buku sekarang ini rupanya berbeda dengan dahulu tatkala Islam belum membangun madrasah. Toko buku hanyalah sebatas bangunan yang menyediakan berbagai genre buku bagi para pembelinya, tak lebih. Pembeli melihat-lihat koleksi, mengambil, membayar, lalu pulang ke rumahnya. Beda halnya dengan toko buku pada Dinasti Abbasiyah yang menjadikan toko buku sebagai arena untuk diskusi ilmiah, membincangkan pengetahuan antara penjual dan pembeli. Bahkan, profesi ‘penjual buku’ mereka bukan hanya sekedar mencari keuntungan semata dari niaganya, melainkan mereka juga berbagi ilmu yang mereka punya. Rata-rata penjual kala  itu adalah seorang sastrawan atau cendekiawan yang mempunyai wawasan yang luas.

4)      Rumah ulama

Memang, Muslimin tidak menggunakan sebuah rumah untuk mengadakan ta’lim umum di dalamnya. Mereka menggunakan rumah sebagi tempat ta’lim hanya untuk ta’lim khusus. Kenapa ? Melihat esensi rumah sendiri yang digunakan sebagai tempat tinggal dan istirahat.

Dalam catatan sejarah, ketika Islam masih hangat munculnya, sebuah ta’lim diadakan di rumah seorang sahabat bernama  Al-Arqom bin Abil Arqom. Rasulullah menjadikan rumah sahabat mulia ini sebagai tempat untuk menyampaikan prinsip-prinsip agama Islam kepada para sahabat lainnya.

5)      Salon Kesusastraan / al-Shalunat al-Adabiyah (sanggar sastra)

Al-Shalunat al-Adabiyah adalah tempat untuk melakukan kegiatan pertunjukkan pembacaan dan pengkajian sastra atau sebagai sanggar / teater budaya. Sanggar ini mencul pertama kalinya pada masa Dinasti Umayyah,  kemudian semakin berkembang dan meluas pada masa Dinasti Bani Abbasiyah.

Sejarah al-Shalunnat al-Adabiyyah erat kaitannya dengan sejarah istana itu sendiri. Misalnya, pada masa Dinasti Umayyah ketika kekhalifahan dipimpin oleh khalifah pertamanya Muawiyyah bin Abu Sufyan , beliau mengundang para ulama, penyair, dan sejarawan untuk menceritakan kepadanya sejarah bangsa Arab, peristiwa-peristiwa terkenal kala itu, dan sejarah kerajaan bangsa Persia beserta peraturan pemerintahannya.

Sedangkan as-Shalunat al-Adabiyyah dengan makna yang benar sendiri baru muncul pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Sanggar-sanggar ini diadakan di waktu-waktu tertentu.

6)       Badiah / Pedalaman

Bahasa Arab masih terjaga kefushhahannya sampai permulaan Islam muncul. Namun, setelah terjadi percampuran antara orang Arab asli dengan non-Arab melalui perdagangan, ditambah lagi dengan invasi besar-besaran di wilayah yang luas, maka kefashihan Bahasa Arab makin memudar. Percampuran ini terjadi di daerah perkotaan, sedangkan di pedalaman masih terjaga.  Alhasil, orang-orang Badui pun dijadikan  guru dalam mempelajari Bahasa Arab. Sehingga  ada sebagian warga badui menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke desa-desa dan kota-kota dalam rangka mengajar bahasa Arab yang murni kepada penduduk kota ini. Bahkan, sebagian penduduk kota belajar langsung dengan mendatangi pedalaman, belajar dari sumbernya langsung. Hal semacam ini saya pernah membacanya bahwa Imam Syafi’i juga melakukan hal yang serupa, belajar di badiah.

 

7 ) Masjid

Kaitan antara masjid dengan pendidikan bangsa Arab sangatlah erat. Biasanya, di dalam masjid diadakan halaqoh-halaqaoh ta’lim yang mempelajari ajaran Islam. Bahkan, eksistensi masjid sebagai pusat pengkajian ilmu masih ada sampai sekarang di sebagian tempat. Orang-orang masih berbondong-bondong datang mengaji kepada  masyayikh mengenai berbagai macam ilmu di masjid.

Dalam catatan sejarah, Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun Islam. Halaqoh talim juga diadakan di sana kala itu. Semakin lama masjid makin berkembang. Bahkan menurut seorang ahli geografi yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah, Al-Ya’qubi, mengatakan bahwa Baghdad kala itu memiliki total 30.000 masjid.

 

Wallahu a’lam bi ash-Showwab.

Terima kasih. Semoga bermanfaat.

 

Kritik dan saran bisa melalui email atau ig (@soetjiamalia16)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan "Malu" Al-Haya' dan Al-Khojal

               Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda ' 'إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ ,  yang artinya “Setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu”. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud malu di sini ? Benarkah malu dalam berbuat apa saja seperti yang diklaim sebagian orang ? Berikut ulasannya. Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang takut untuk melakukan perbuatan tercela yang menimbulkan aib bagi dirinya. Sifat malu sangat identik dengan perempuan. Pandangan masyarakat mengatakan bahwa perempuan harus bermahkotakan malu. Memang benar adanya seperti ini, tetapi sebagian masyarakat masih menyamakan malu dalam berbuat kebaikan dan keburukan. Sehingga sebagian masih merasakan malu dalam berbuat kebaikan seperti halnya malu dalam menunut ilmu. Perasaan malu tidak mengahalangi perempuan untuk menimba ilmu   ataupun mengajarkannya terhadap muslim lainnya. Seperti halnya yang ...

Contoh-contoh Naqd Masa Jahiliah

  Di blog sebelumnya sudah dibahas mengenai syarat-syarat kritikus sastra. Silahkan bagi teman-teman bisa dibaca terlebih dahulu  Kritikus Sastra dan Syarat-syaratnya sebelum menginjak ke pembahasan kali ini, yaitu contoh-contoh kritik sastra pada masa jahiliah. Setiap masa memiliki perkembangan kritik sastra tersendiri. Masa jahiliah, awal kemunculan Islam, Dinasti Umayah, dan Dinasti Abbasiyah memiliki karakter kritik sastra yang berbeda.  Untuk mengetahui apa saja perbedaan tersebut, penulis akan mencoba merangkum keterangan dari kitab “ في النقد الأدبي القديم عند العرب ” karya Dr. Mustofa Abdur Rohman Ibrahim dan tambahan penjelasan dari dosen Adab Wa Naqd Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ahmad Dardiri M.A. Berbicara mengenai kritik sastra pada masa jahiliyah, kita bisa membaginya menjadi lima macam. 1.       1 .  ا لنقد الفردي (kritik terhadap syair dirinya sendiri) Setiap penyair adalah seorang kritikus. Minimalnya, ia ...

Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah

  Munculnya Naqd Manhaji pada Masa Dinasti Abbasiyah Naqd manhaji atau mungkin bisa artikan dengan kritik yang sistematis adalah kritik yang berpatokan terhadap metode berdasarkan prinsip-prinsip teoritis. Takaran keindahan dan kekurangan suatu syair sudah diletakan pada syair manhaji. Jika kita bandingkan, syair pada masa jahiliyah dan permulaan Islam masih berpatokan terhadap insting dan pengetahuan umum. Namun, ketika masa Abbasiyah syair semakin berwarna dikarenakan pengetahuan dan pemikiran semakin berkembang. Selain itu, banyak dilakukan penerjamahan karya dari bahasa Persia, Hindia, maupun Yunani ke dalam bahasa Arab yang mana hal ini tentu berpengaruh besar terhaap perkembangan sastra kala itu. Kemudian sejak abad ke-2 Hijriah mulailah kritik sastra berpatokan pada langkah yang baru, seperti kedalaman makna, analisis yang rinci dan jelas, dsb. Langkah ini menjadi pijakan awal naqd manhaji muncul yang berdasarkan prinsip dan qaidah tertentu. Banyak pula kritikus yang...